PROSIDING-NASIONAL-KEBIDANAN-2020 POLTEKES KEMENKES CALL FOR PAPER VOL.2 NO 1
PENYULUHAN PRELACTEAL FEEDING DALAM UPAYA
OPTIMALISASI TUMBUH KEMBANG ANAK
Dublin Core
Title
PROSIDING-NASIONAL-KEBIDANAN-2020 POLTEKES KEMENKES CALL FOR PAPER VOL.2 NO 1
PENYULUHAN PRELACTEAL FEEDING DALAM UPAYA
OPTIMALISASI TUMBUH KEMBANG ANAK
PENYULUHAN PRELACTEAL FEEDING DALAM UPAYA
OPTIMALISASI TUMBUH KEMBANG ANAK
Subject
Keywords: Prelacteal Feeding, Exclusive Breastfeeding, Growth, and Development
Description
I. PENDAHULUAN
Angka kematian bayi nasional menurut SDKI tahun
2007 adalah 34 per 1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian
bayi hasil SDKI 2012 adalah 32 kematian per 1.000 kelahiran
hidup. Angka Kematian Bayi di provinsi Jawa Timur pada
tahun 2007 adalah 35 per 1.000 kelahiran hidup dan pada tahun
2012 adalah 30 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan jumlah
kematian bayi di provinsi Jawa Timur pada tahun 2010
sebanyak 5.533 kasus (Depkes, 2012). Walaupun menunjukkan
penurunan tetapi penurunan tersebut tidak terlalu banyak.
Beberapa penyakit yang saat ini masih menjadi penyebab
kematian terbesar dari bayi diantaranya adalah penyakit diare,
tetanus, gangguan perinatal, dan radang saluran napas bagian
bawah (Hapsari, 2004 dalam Hidayat, 2009). Untuk membantu
dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas neonatal dan
untuk mencapai MDGs, dapat dilakukan inisiasi menyusui dini
(IMD), memberikan kolostrum pada masa awal setelah
kelahiran dan dilanjutkan dengan menyusui bayi secara
eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan (Walia, et.al,
2009). ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi
tanpa tambahan makanan/minuman lain (susu formula/kaleng,
pisang, madu, teh, dll) kecuali obat, sampai usia 6 bulan
(Depkes RI, 2010).
Kolostrum yang dikeluarkan selama beberapa hari
pertama kehidupan, sangat kaya dengan faktor-faktor
imunoprotektif dan beberapa vitamin dan mineral, dan tidak
boleh dibuang atau diganti dengan makanan prelakteal yaitu
makanan atau minuman selain air susu ibu (ASI) pada tiga hari
pertama setelah lahir (Liqian Qiu, et.al, 2007). Meminum
kolostrum secara awal akan membantu membersihkan
mekonium dari usus, juga bersifat nutritif atau mempunyai nilai
gizi yang tinggi dan bersifat protektif atau untuk perlindungan
terhadap infeksi (Verralls, 2003). Walaupun ASI yang berupa
kolostrum itu hanya dapat diisap beberapa tetes, ini sudah
cukup untuk kebutuhan bayi pada hari-hari pertama, tetapi
terkadang ibu keberatan untuk menyusui bayinya dengan alasan
ASI belum keluar (Russepno dkk, 2007). Alasan lainnya yaitu
budaya memberikan makanan prelakteal, menghentikan
pemberian ASI karena bayi atau ibu sakit, ibu harus bekerja,
serta ibu ingin mencoba susu formula (Nurhaedar, 2011).
Pada masyarakat Madura adanya kebiasaan membuang
ASI pertama yang berwarna kuning atau yang biasa disebut
sebagai kolostrom, kolostrom tersebut dianggap Basi.
Sehingga tidak perlu diberikan kepada bayinya, sebagai
gantinya mereka memberikan minuman, madu, atau makanan
sejenisnya supaya bayi tersebut tidak lapar. Budaya pemberian
makanan lain sebelum pemberian ASI juga didukung oleh
Penelitian yang dilakukan oleh Lely Defni tahun 2001 di
Kelurahan Barangsiang dan Desa Katulampa Kecamatan Kota
Bogor Timur, Kota Bogor Jawa Barat menunjukkan sebanyak
70% sampel tidak memberikan ASI eksklusif karena bayi telah
diperkenalkan dengan makanan prelakteal. Riskesdas tahun
2010 melaporkan bayi yang diberi makanan prelakteal di
Indonesia sebanyak 43,6% dan di Jawa Timur sebanyak 48,1%.
Penelitian yang dilakukan oleh Mercy Corps di Jakarta
menunjukkan sebanyak 64% ibu memberikan makanan atau
minuman selain ASI pada tiga hari pertama setelah persalinan.
Diantara bayi yang mendapat prelacteal feeding, mayoritas
mendapatkan susu formula yaitu sebesar 66,5% atau susu
hewan sebesar 18,9%. Memberikan madu juga merupakan hal
yang umum yaitu sebanyak 28,6%. Orang-orang yang sering
menyarankan untuk memberikan makanan tersebut antara lain
bidan swasta, ibu itu sendiri, perawat, orang tua, dan bidan
klinik umum. Sebanyak 20-53% bayi mendapat susu formula
terutama ketika persalinan dilakukan di rumah sakit, rumah
bidan, dan atau klinik bersalin, sedangkan kurang dari 9% ibu
yang melahirkan di rumah, menerima atau membeli susu
formula (USAID, 2010). Bayi yang lahir di perkotaan, bayi
dengan ibu berpendidikan menengah atau tinggi, persalinan ibu
ditolong oleh tenaga kesehatan di tempat pelayanan kesehatan,
dan keadaan sosial ekonomi tinggi memiliki kecenderungan
mendapatkan makanan prelakteal yang lebih tinggi (SDKI,
2007). Praktik menyusui secara signifikan lebih tinggi terjadi
pada ibu dengan jumlah anak dua atau lebih.
Angka kematian bayi nasional menurut SDKI tahun
2007 adalah 34 per 1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian
bayi hasil SDKI 2012 adalah 32 kematian per 1.000 kelahiran
hidup. Angka Kematian Bayi di provinsi Jawa Timur pada
tahun 2007 adalah 35 per 1.000 kelahiran hidup dan pada tahun
2012 adalah 30 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan jumlah
kematian bayi di provinsi Jawa Timur pada tahun 2010
sebanyak 5.533 kasus (Depkes, 2012). Walaupun menunjukkan
penurunan tetapi penurunan tersebut tidak terlalu banyak.
Beberapa penyakit yang saat ini masih menjadi penyebab
kematian terbesar dari bayi diantaranya adalah penyakit diare,
tetanus, gangguan perinatal, dan radang saluran napas bagian
bawah (Hapsari, 2004 dalam Hidayat, 2009). Untuk membantu
dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas neonatal dan
untuk mencapai MDGs, dapat dilakukan inisiasi menyusui dini
(IMD), memberikan kolostrum pada masa awal setelah
kelahiran dan dilanjutkan dengan menyusui bayi secara
eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan (Walia, et.al,
2009). ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi
tanpa tambahan makanan/minuman lain (susu formula/kaleng,
pisang, madu, teh, dll) kecuali obat, sampai usia 6 bulan
(Depkes RI, 2010).
Kolostrum yang dikeluarkan selama beberapa hari
pertama kehidupan, sangat kaya dengan faktor-faktor
imunoprotektif dan beberapa vitamin dan mineral, dan tidak
boleh dibuang atau diganti dengan makanan prelakteal yaitu
makanan atau minuman selain air susu ibu (ASI) pada tiga hari
pertama setelah lahir (Liqian Qiu, et.al, 2007). Meminum
kolostrum secara awal akan membantu membersihkan
mekonium dari usus, juga bersifat nutritif atau mempunyai nilai
gizi yang tinggi dan bersifat protektif atau untuk perlindungan
terhadap infeksi (Verralls, 2003). Walaupun ASI yang berupa
kolostrum itu hanya dapat diisap beberapa tetes, ini sudah
cukup untuk kebutuhan bayi pada hari-hari pertama, tetapi
terkadang ibu keberatan untuk menyusui bayinya dengan alasan
ASI belum keluar (Russepno dkk, 2007). Alasan lainnya yaitu
budaya memberikan makanan prelakteal, menghentikan
pemberian ASI karena bayi atau ibu sakit, ibu harus bekerja,
serta ibu ingin mencoba susu formula (Nurhaedar, 2011).
Pada masyarakat Madura adanya kebiasaan membuang
ASI pertama yang berwarna kuning atau yang biasa disebut
sebagai kolostrom, kolostrom tersebut dianggap Basi.
Sehingga tidak perlu diberikan kepada bayinya, sebagai
gantinya mereka memberikan minuman, madu, atau makanan
sejenisnya supaya bayi tersebut tidak lapar. Budaya pemberian
makanan lain sebelum pemberian ASI juga didukung oleh
Penelitian yang dilakukan oleh Lely Defni tahun 2001 di
Kelurahan Barangsiang dan Desa Katulampa Kecamatan Kota
Bogor Timur, Kota Bogor Jawa Barat menunjukkan sebanyak
70% sampel tidak memberikan ASI eksklusif karena bayi telah
diperkenalkan dengan makanan prelakteal. Riskesdas tahun
2010 melaporkan bayi yang diberi makanan prelakteal di
Indonesia sebanyak 43,6% dan di Jawa Timur sebanyak 48,1%.
Penelitian yang dilakukan oleh Mercy Corps di Jakarta
menunjukkan sebanyak 64% ibu memberikan makanan atau
minuman selain ASI pada tiga hari pertama setelah persalinan.
Diantara bayi yang mendapat prelacteal feeding, mayoritas
mendapatkan susu formula yaitu sebesar 66,5% atau susu
hewan sebesar 18,9%. Memberikan madu juga merupakan hal
yang umum yaitu sebanyak 28,6%. Orang-orang yang sering
menyarankan untuk memberikan makanan tersebut antara lain
bidan swasta, ibu itu sendiri, perawat, orang tua, dan bidan
klinik umum. Sebanyak 20-53% bayi mendapat susu formula
terutama ketika persalinan dilakukan di rumah sakit, rumah
bidan, dan atau klinik bersalin, sedangkan kurang dari 9% ibu
yang melahirkan di rumah, menerima atau membeli susu
formula (USAID, 2010). Bayi yang lahir di perkotaan, bayi
dengan ibu berpendidikan menengah atau tinggi, persalinan ibu
ditolong oleh tenaga kesehatan di tempat pelayanan kesehatan,
dan keadaan sosial ekonomi tinggi memiliki kecenderungan
mendapatkan makanan prelakteal yang lebih tinggi (SDKI,
2007). Praktik menyusui secara signifikan lebih tinggi terjadi
pada ibu dengan jumlah anak dua atau lebih.
Creator
Wahyu, D#
, Kusumaningtyas, K, Setiyani, A
, Kusumaningtyas, K, Setiyani, A
Source
semnas.poltekkesdepkes-sby.ac.id
Date
Surabaya, 28 Nopember 2020
Contributor
PERI IRAWAN
Rights
https://drive.google.com/drive/folders/1AernUNLz6pUkVv9tCaGI5xQ2q0IFn2Ua
Format
PDF
Language
INDONESIA
Type
TEXT
Files
Citation
Wahyu, D#
, Kusumaningtyas, K, Setiyani, A, “PROSIDING-NASIONAL-KEBIDANAN-2020 POLTEKES KEMENKES CALL FOR PAPER VOL.2 NO 1
PENYULUHAN PRELACTEAL FEEDING DALAM UPAYA
OPTIMALISASI TUMBUH KEMBANG ANAK,” Repository Horizon University Indonesia, accessed February 5, 2025, https://repository.horizon.ac.id/items/show/30.
PENYULUHAN PRELACTEAL FEEDING DALAM UPAYA
OPTIMALISASI TUMBUH KEMBANG ANAK,” Repository Horizon University Indonesia, accessed February 5, 2025, https://repository.horizon.ac.id/items/show/30.